Sembilan
Permasalahan Pokok
Pengembangan Panas Bumi di Indonesia
Muhamad Taufiq Hidayat, student of Petroleum Engineering, Institute of Technology Bandung (ITB)
taufiq.hidayat@students.itb.ac.id
Pengembangan Panas Bumi di Indonesia
Muhamad Taufiq Hidayat, student of Petroleum Engineering, Institute of Technology Bandung (ITB)
taufiq.hidayat@students.itb.ac.id
Dalam Kongres Panas Bumi Dunia
yang dilaksanakan pada tanggal 25-30 April 2010 di Bali yang terkenal dengan
sebutan World Geothermal Congress-WGC2010
telah dihasilkan beberapa komentar berkaitan dengan usaha perbaikan kebijakan
pengembangan panas bumi di Indonesia. Sebenarnya, ada banyak permasalahan yang
dihadapi berkaitan dengan kebijakan pemanfaatan panas bumi, khusunya di
Indonesia. Secara umum, ada sembilan masalah pokok pengembangan panas bumi di
Indonesia.
Pertama, proses pengembangan
panas bumi memiliki resiko sumber daya atau biasa disebut resource risk yang cukup tinggi. Artinya, jumlah cadangan yang
sudah diprediksikan belum tentu sesuai dengan yang diharapkan. Sementara itu,
informasi tentang kondisi bawah permukaan maupun informasi cadangan panas bumi
masih sangat minim, sehingga dinilai kurang mampu untuk mengurangi resiko
tersebut.
Kedua, biaya operasi di bagian
hulu sangat besar, sehingga memerlukan investor dengan jumlah modal yang besar.
Biaya terbesar dalam pengelolaan lapangan panas bumi adalah untuk eksplorasi
dan pengeboran panas bumi. Hal ini karena pada umumnya lapangan panas bumi
memiliki temperatur yang cukup tinggi (berkisar 2000C atau lebih),
sehingga memerlukan peralatan eksplorasi dan pemboran khusus yang harganya
cukup mahal.
Ketiga, mekanisme tender pada
proses pelelangan pengelolaan lapangan panas bumi masih kurang jelas. Kebijakan
yang berlaku saat ini menyatakan bahwa hasil tender tidak otomatis merupakan
harga dalam PPA (Power Purchase Agreement).
Artinya, walaupun proses tender sudah dilakukan, harga yang diterima panitia
lelang belum secara otomatis merupakan harga jual listrik kepada PLN sebagai
pembeli sumber daya listrik. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum.
Keempat, sebagian besar pemenang
tender pengelolaan lapangan panas bumi merupakan perusahaan yang tidak memiliki
kompetensi dalam pengolahan panas bumi, sehingga pengelolaannya menjadi
terhambat. Hal ini diperparah dengan kebijakan bahwa yang bisa memenangkan
tender adalah yang bisa menawarkan harga listrik terendah, bukan yang memiliki
kompetensi terbaik. Akibatnya, pengelolaan lapangan panas bumi tidak dilakukan
secara optimal.
Kelima, sumber daya manusia
daerah yang ahli dalam pengelolaan lapangan panas bumi jumlahnya masih sangat
sedikit. Padahal, berdasarkan UU No.27 tahun 2003, pemerintah daerah dituntut
untuk mengawasi operasi pengelolaan lapangan panas bumi di daerahnya. Oleh
karena itu, seharusnya pemerintah daerah yang wilayahnya memiliki potensi panas
bumi memberikan perhatian khusus kepada putra daerahnya agar dapat mengemban
ilmu di bidang panas bumi, misalnya di Program Studi S1 Teknik Perminyakan
maupun S2 Teknik Panas Bumi di Institut Teknologi Bandung.
Keenam, dalam skala pengelolaan
panas bumi tingkat nasional, jumlah ahli panas bumi jumlahnya masih sangat
sedikit. Seyogyanya pemerintah pusat dapat mendorong anak bangsa Indonesia
untuk menimba ilmu panas bumi baik di dalam maupun di luar negeri. Dengan
demikian, pengelolaan panas bumi dapat dilakukan secara mandiri oleh bangsa
Indonesia tanpa harus bergantung pada ahli-ahli dari negara lain.
Ketujuh, terjadi
ketidakseimbangan dalam kebijakan tender. Perusahaan-perusahaan asing menilai
perlu adanya playing field yang
berkeadilan, artinya perusahaan
nasional atau BUMN tidak diperkenankan ikut serta dalam kompetisi tender. Hal
ini karena BUMN seperti Pertamina memiliki hak istimewa dalam memperoleh dana
pinjaman, sehingga lebih besar peluangnya untuk memenangkan tender. Menurut
saya , keikutsertaan BUMN dalam tender lapangan panas bumi bukanlah suatu
permasalahan, justru ini merupakan suatu keharusan yang harus dipatuhi. Sebagai
tuan rumah yang memiliki sumber panas bumi, BUMN di Indonesia sudah seyogyanya
mendapatkan hak istimewa.
Kedelapan, masih terdapat
permasalahan dalam pengembangan panas bumi di kawasan hutan suaka alam maupun
hutan konservasi. Sumber-sumber panas bumi yang berada di kawasan tersebut
sampai saat ini dilarang untuk dikembangkan. Faktanya, sekitar 30 persen
potensi panas bumi di Indonesia berada di kawasan hutan suaka alam dan hutan
konservasi. Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) seharusnya membenahi kebijakan pelarangan ini karena
pengembangan panas bumi tidak bersifat merusak lahan.
Kesembilan, kebijakan pengeluaran
Izin Usaha Pengusahaan (IUP) panas bumi sangat lama. Jika dihitung dari proses
tender, IUP di daerah pada umumnya keluar setelah jangka waktu dua tahun.
Akibatnya, pengelolaan lapangan menjadi sangat lambat.
Sembilan masalah pokok dalam
pengembangan panas bumi di Indonesia tersebut seharusnya dapat diatasi oleh
pemerintah mengingat Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia,
yaitu sekitar 29 GWe. Jika permasalahan tersebut dapat diatasi
dengan sempurna, tentu iklim investasi panas bumi di Indonesia dapat berjalan
dengan baik. Dengan demikian, segala potensi panas bumi yang ada di dalam perut
Indonesia dapat dikelola dengan baik.
Daftar Pustaka :
DiPippo, Ronald. 2005.
Geothermal Power Plants : Principles,
Applications, Case Studies, and Environmental Impact. Dartmouth : BH
Poernomo, Abadi. 2010.
Membangun Ketahanan Energi “Sumbangan
Pemikiran Alumni ITB untuk Bangsa” : Optimalisasi Energi Geothermal.
Jakarta : Pengurus Pusat IA ITB.
Sukhyar, R. 2010. Membangun Ketahanan Energi “Sumbangan
Pemikiran Alumni ITB untuk Bangsa” : Penataan Kebijakan Pengembangan Panas Bumi.
Jakarta : Pengurus Pusat IA ITB.
No comments:
Post a Comment