Thursday, February 7, 2013

Sembilan Permasalahan Pokok Pengembangan Panas Bumi di Indonesia



Sembilan Permasalahan Pokok
Pengembangan Panas Bumi di Indonesia
Muhamad Taufiq Hidayat, student of Petroleum Engineering, Institute of Technology Bandung (ITB)
taufiq.hidayat@students.itb.ac.id

Dalam Kongres Panas Bumi Dunia yang dilaksanakan pada tanggal 25-30 April 2010 di Bali yang terkenal dengan sebutan World Geothermal Congress-WGC2010 telah dihasilkan beberapa komentar berkaitan dengan usaha perbaikan kebijakan pengembangan panas bumi di Indonesia. Sebenarnya, ada banyak permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan kebijakan pemanfaatan panas bumi, khusunya di Indonesia. Secara umum, ada sembilan masalah pokok pengembangan panas bumi di Indonesia.


Pertama, proses pengembangan panas bumi memiliki resiko sumber daya atau biasa disebut resource risk yang cukup tinggi. Artinya, jumlah cadangan yang sudah diprediksikan belum tentu sesuai dengan yang diharapkan. Sementara itu, informasi tentang kondisi bawah permukaan maupun informasi cadangan panas bumi masih sangat minim, sehingga dinilai kurang mampu untuk mengurangi resiko tersebut.

Kedua, biaya operasi di bagian hulu sangat besar, sehingga memerlukan investor dengan jumlah modal yang besar. Biaya terbesar dalam pengelolaan lapangan panas bumi adalah untuk eksplorasi dan pengeboran panas bumi. Hal ini karena pada umumnya lapangan panas bumi memiliki temperatur yang cukup tinggi (berkisar 2000C atau lebih), sehingga memerlukan peralatan eksplorasi dan pemboran khusus yang harganya cukup mahal.

Ketiga, mekanisme tender pada proses pelelangan pengelolaan lapangan panas bumi masih kurang jelas. Kebijakan yang berlaku saat ini menyatakan bahwa hasil tender tidak otomatis merupakan harga dalam PPA (Power Purchase Agreement). Artinya, walaupun proses tender sudah dilakukan, harga yang diterima panitia lelang belum secara otomatis merupakan harga jual listrik kepada PLN sebagai pembeli sumber daya listrik. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum.

Keempat, sebagian besar pemenang tender pengelolaan lapangan panas bumi merupakan perusahaan yang tidak memiliki kompetensi dalam pengolahan panas bumi, sehingga pengelolaannya menjadi terhambat. Hal ini diperparah dengan kebijakan bahwa yang bisa memenangkan tender adalah yang bisa menawarkan harga listrik terendah, bukan yang memiliki kompetensi terbaik. Akibatnya, pengelolaan lapangan panas bumi tidak dilakukan secara optimal.

Kelima, sumber daya manusia daerah yang ahli dalam pengelolaan lapangan panas bumi jumlahnya masih sangat sedikit. Padahal, berdasarkan UU No.27 tahun 2003, pemerintah daerah dituntut untuk mengawasi operasi pengelolaan lapangan panas bumi di daerahnya. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah daerah yang wilayahnya memiliki potensi panas bumi memberikan perhatian khusus kepada putra daerahnya agar dapat mengemban ilmu di bidang panas bumi, misalnya di Program Studi S1 Teknik Perminyakan maupun S2 Teknik Panas Bumi di Institut Teknologi Bandung.

Keenam, dalam skala pengelolaan panas bumi tingkat nasional, jumlah ahli panas bumi jumlahnya masih sangat sedikit. Seyogyanya pemerintah pusat dapat mendorong anak bangsa Indonesia untuk menimba ilmu panas bumi baik di dalam maupun di luar negeri. Dengan demikian, pengelolaan panas bumi dapat dilakukan secara mandiri oleh bangsa Indonesia tanpa harus bergantung pada ahli-ahli dari negara lain.

Ketujuh, terjadi ketidakseimbangan dalam kebijakan tender. Perusahaan-perusahaan asing menilai perlu adanya playing field yang berkeadilan, artinya perusahaan nasional atau BUMN tidak diperkenankan ikut serta dalam kompetisi tender. Hal ini karena BUMN seperti Pertamina memiliki hak istimewa dalam memperoleh dana pinjaman, sehingga lebih besar peluangnya untuk memenangkan tender. Menurut saya , keikutsertaan BUMN dalam tender lapangan panas bumi bukanlah suatu permasalahan, justru ini merupakan suatu keharusan yang harus dipatuhi. Sebagai tuan rumah yang memiliki sumber panas bumi, BUMN di Indonesia sudah seyogyanya mendapatkan hak istimewa.

Kedelapan, masih terdapat permasalahan dalam pengembangan panas bumi di kawasan hutan suaka alam maupun hutan konservasi. Sumber-sumber panas bumi yang berada di kawasan tersebut sampai saat ini dilarang untuk dikembangkan. Faktanya, sekitar 30 persen potensi panas bumi di Indonesia berada di kawasan hutan suaka alam dan hutan konservasi. Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) seharusnya membenahi kebijakan pelarangan ini karena pengembangan panas bumi tidak bersifat merusak lahan.

Kesembilan, kebijakan pengeluaran Izin Usaha Pengusahaan (IUP) panas bumi sangat lama. Jika dihitung dari proses tender, IUP di daerah pada umumnya keluar setelah jangka waktu dua tahun. Akibatnya, pengelolaan lapangan menjadi sangat lambat.

Sembilan masalah pokok dalam pengembangan panas bumi di Indonesia tersebut seharusnya dapat diatasi oleh pemerintah mengingat Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia, yaitu sekitar 29 GWe. Jika permasalahan tersebut dapat diatasi dengan sempurna, tentu iklim investasi panas bumi di Indonesia dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian, segala potensi panas bumi yang ada di dalam perut Indonesia dapat dikelola dengan baik.

Daftar Pustaka :
DiPippo, Ronald. 2005. Geothermal Power Plants : Principles, Applications, Case Studies, and Environmental Impact. Dartmouth : BH
Poernomo, Abadi. 2010. Membangun Ketahanan Energi “Sumbangan Pemikiran Alumni ITB untuk Bangsa” : Optimalisasi Energi Geothermal. Jakarta : Pengurus Pusat IA ITB.
Sukhyar, R. 2010. Membangun Ketahanan Energi “Sumbangan Pemikiran Alumni ITB untuk Bangsa” : Penataan Kebijakan Pengembangan Panas Bumi. Jakarta : Pengurus Pusat IA ITB.
Unjianto, Bambang. 2012. 40 Persen Panas Bumi Ada di Indonesia. Yogyakarta : Suaramerdeka.com.

No comments:

Post a Comment